Menelusuri Jejak Sejarah Masjid Putihan Baitul Muttaqien: Warisan Leluhur di Tanah Kamardikan

Petanahan, Kebumen – Di sudut kecil Desa Grogolbeningsari, tepatnya di Dukuh Putihan, berdiri sebuah masjid tua yang keberadaannya menyimpan jejak panjang sejarah. Masjid Putihan Baitul Muttaqien, begitu masyarakat menyebutnya, adalah saksi bisu perjalanan Islam di tanah Kamardikan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun, ada satu misteri yang hingga kini belum terungkap: kapan tepatnya masjid ini didirikan?

Masyarakat sekitar hanya tahu bahwa masjid ini telah ada sejak zaman dahulu, berdiri di atas tanah yang dahulu dikenal sebagai tanah Putihan. Dari tanah inilah, nama Dukuh Putihan kemudian lahir. Namun, di balik kesederhanaannya, masjid ini menyimpan kisah tentang sosok yang menjadi pendirinya: Raden Mas Jayakusuma.

Jejak Raden Mas Jayakusuma: Sosok yang Tak Banyak Dikenal

Raden Mas Jayakusuma bukanlah nama yang mudah ditemukan dalam buku-buku sejarah resmi. Namun, di kalangan warga dan para sesepuh, kisahnya masih diceritakan turun-temurun. Beliau diyakini sebagai tokoh yang memiliki keterkaitan erat dengan Kesultanan Yogyakarta, seseorang yang mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan Islam.

Makamnya berada jauh di Imogiri, Bantul, pemakaman para raja Mataram. Keberadaan makam ini semakin menguatkan dugaan bahwa Raden Mas Jayakusuma bukan orang sembarangan. Jika ia dimakamkan di Imogiri, maka besar kemungkinan beliau adalah bagian dari kalangan bangsawan atau memiliki peran penting dalam pemerintahan kala itu.

Namun, siapa pun dia, yang pasti jejaknya tetap hidup dalam bentuk Masjid Putihan Baitul Muttaqien, yang hingga kini masih menjadi tempat beribadah dan menuntut ilmu bagi masyarakat sekitar.

Mbah Mursyid dan Para Penerusnya

Setelah Raden Mas Jayakusuma wafat, tongkat estafet perawatan masjid ini diteruskan oleh Mbah Mursyid. Beliau menikahi Nyai Kasinah, seorang perempuan yang juga berasal dari keluarga santri. Dari pernikahan ini, lahir tiga anak yang kelak meneruskan perjuangan keluarga:

  1. Mbah Nyai Halimah, yang kelak menikah dengan K. Suhadin, seorang Syuriyah di MWCNU Petanahan. Dari pernikahan ini lahir generasi penerus yang juga tetap menjaga tradisi keislaman keluarga.
  2. Saniah, yang telah wafat.
  3. KH. Ahmad Solehan Mursyid, sosok yang kini menjadi pengasuh Masjid Putihan Baitul Muttaqien.

KH. Ahmad Solehan Mursyid menikah dengan Nyai Siti Mubadriyah, putri dari Mbah Sannusi di Kebonsari. Dari pernikahan ini lahir tiga anak: Maftuhatul Munginah, Mufidatul Hasanah, dan Saeful Bahri.

Masjid yang Terus Berdenyut

Seiring waktu, Masjid Putihan Baitul Muttaqien terus menjadi pusat kehidupan masyarakat. Bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga tempat bermusyawarah, belajar, dan mengokohkan nilai-nilai keislaman. Kini, di bawah asuhan KH. Ahmad Solehan Mursyid, masjid ini tetap berdiri tegak dengan semangat yang sama seperti ketika pertama kali didirikan.

Di antara banyak petuah yang kerap beliau sampaikan, ada satu yang selalu diingat oleh para santri dan masyarakat:

“Awakmu gelem Open bakal Panen.”

Sebuah kalimat yang sederhana, tetapi sarat makna. Bahwa siapa yang mau berbagi, siapa yang mau berusaha dengan tulus, kelak akan menuai hasilnya.

Begitulah Masjid Putihan Baitul Muttaqien, bukan sekadar bangunan tua yang berusia entah berapa ratus tahun, tetapi juga simbol dari perjuangan para leluhur. Di balik kesederhanaannya, tersimpan jejak panjang sejarah yang masih terjaga, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. (Kn.01)