
(Catatan Nassirun Purwokartun, penerjemah ‘Babad Arung Binang’)
Dialah orang yang memilih desa Solo menjadi keraton baru bagi Mataram, setelah istana Kartasura porak poranda oleh serangan tentara Cina.
Dialah penasehat kepercayaan raja Mataram, Paku Buwana II, hingga akhirnya sang raja memindah keraton dari Kartasura ke Surakarta.
Dia adalah anak dari Paku Buwana I, yang lahir dari seorang perempuan di Panjer Roma, Kebumen, anak Demang Wargonoyo, keturunan Pangeran Bumidirja.
Ketika Paku Buwana I masih muda, bernama Pangeran Puger, mengantar ayahnya, Amangkurat I, melarikan diri dari keraton Plered karena serbuan Raden Trunajaya.
Pangeran Puger menetap di Jenar, wilayah Bagelen, menggalang kekuatan untuk menggempur Trunajaya.
Ketika di Panjer Roma, Pangeran Puger menikahi anak Demang Wargonoyo, dan lahirlah seorang anak bernama Jaka Sangkrib.
Karena tidak punya ayah, ayahnya berada di Mataram, Jaka Sangkrib diasuh oleh sodaranya, Demang Kutowinangun, Honggoyudo.
Dikisahkan Jaka Sangkrib sejak kecil menderita sakit kulit yang menyebarkan bau sangat busuk. Hingga ia tidak boleh masuk rumah, dan dibuatkan kandang di luar rumah sebage tempatnya.
Karena merasa dikucilkan, ia melarikan diri dari rumah Demang Kutowinangun. Berjalan menjemput kematian, karena merasa hidupnya sudah tak punya harapan dengan sakitnya yang membuat orang memandang jijik.
Suatu hari, dalam perjalanan, ia mandi di sebuah sumber mata air di pinggir hutan Kutowinangun.
Ajaib, sakit kulit yang menjijikan sembuh. Sebagai penanda, ia memberi nama mata air itu dengan nama ‘Sendang Arum’, mata air kesembuhan.
Setelah dewasa, Jaka Sangkrib mengabdi di Keraton Mataram di Kartasura, di bawah kepemimpinan Paku Buwana II. Ia mendapat gelar Tumenggung Honggowongso.
Ketika terjadi Geger Pacina, Raden Mas Garendi dan prajurit Cina nenyerbu istana Kartasura. Dengan bantuan Belanda, raja Mataram, Paku Buwana II melarikan diri ke Ponorogo.
Dengan bantuan Belanda pula, keraton Mataram Kartasura bisa direbut kembali. Namun keadaan istana sudah rusak parah. Sang raja, Paku Buwana II tidak berkenan menempatinya, menginginkan membangun istana yang baru.
Diutuslah dua patihnya, Pringgalaya dan Sindureja untuk mencari tempat yang baru. Mereka mendapat tiga tempat calon istana yang baru, yakni desa Kadipolo, desa Solo, desa Sonosewu.
Tiga tempat itu kemudian disampaikan pada Paku Buwana II. Dan, sang raja meminta pertimbangan pada penasehatnya, Tumenggung Honggowongso, yang waktu itu dipercaya sebage ahli nujum istana.
Menurut Honggowongso, desa Kadipolo tanahnya rata, namun untuk dibangun istana akan cepat rusak dan banyak perang saudara.
Sementara desa Sonosewu kurang cocok, karena kerajaan akan berumur pendek, banyak perang besar, dan rakyat akan kembali menjadi Budha.
Sedangkan desa solo, walaupun daerahnya penuh rawa, namun sangat baik untuk pusat kerajaan, karena akan berumur panjang, aman dan makmur, dan berwibawa.
Atas pertimbangan Honggowongso lah kemudian Paku Buwana II memindah istana dari Kartasura ke desa solo yang kemudian diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat.
Tumenggung Honggowongso pula yang memimpin pemindahan itu pada tanggal 17 pebruari 1745 pukul 10 pagi.
Di kemudian hari, setelah Perang Mangkubumi, Honggowongso pula yang ditunjuk oleh Paku Buwana III menjadi wakil dari Keraton Surakarta dalam Perjanjian Giyanti. Perjanjian yang membelah Mataram menjadi Surakarta dan Jogjakarta.
Kelak juga, pada Perjanjian Salatiga, Tumenggung Honggowongso juga yang menjadi wakil Keraton Surakarta dalam menghadapi Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyata. Perjanjian yang menyepakati berdirilah Kadipaten Mangkunegaran.
Atas jasa-jasanya pada kerajaan, Tumengung Honggowongso kemudian mendapatkan gelar Tumenggung Arung Binang dari paku buwana III pada usia 70 tahun.
Namun, karena sebuah kesalahan, pada hari tuanya, Tumenggung Arung Binang dibuang ke hutan Lodoyo oleh raja Solo, Paku Buwana III.
Atas pertolongan raja Jogja, Sultan Hamengku Buwana I mengirim surat ancaman pada Sunan Paku Buwana III. Keraton Jogja akan menyerang Keraton Solo bila tidak membebaskan Tumenggung Arung Binang dari pembuangannya.
Tak lama setelah bebas, Arung Binang meninggal pada usia 83 tahun, pada tahun 1762. Sesuai wasiatnya, beliau dimakamkan di kampung halamannya, di Kutowinangun.
Tepatnya di wilayah yang bersejarah baginya, yaitu di sekitar mata air Sendang Arum yang dulu membuat sakit kulitnya sembuh.
Sekarang, tempat itu mudah ditemukan, karena berada persis di belakang Stasiun Kutowinangun. (Kn.01)