
Kebumen News (1 Februari2025)
Pada masa kepemimpinan Soeleman Kertowongso, yang bergelar Kolopaking III, tanah Jawa mengalami perkembangan penting dalam aspek politik, sosial, dan budaya. Kepemimpinannya tidak hanya dikenal karena ketegasan dalam mengelola wilayah, tetapi juga karena perannya dalam membangun harmoni di tengah keberagaman masyarakat. Dua peristiwa besar yang terjadi pada masa ini—penyatuan Trah Aroengbinang dengan Trah Kolopaking serta perkawinan Kolopaking III dengan Tan Peng Nio, seorang wanita keturunan Tionghoa—menjadi bukti nyata bahwa semangat persatuan dan toleransi telah mengakar di tanah Jawa sejak era tersebut.
Sebagai seorang pemimpin, Kolopaking III memahami bahwa stabilitas pemerintahan tidak hanya bergantung pada kekuatan militer atau strategi politik, tetapi juga pada kemampuannya dalam membangun hubungan yang harmonis di antara berbagai kelompok masyarakat. Penyatuan Trah Aroengbinang dan Kolopaking menjadi langkah penting dalam memperkuat pengaruh politiknya, terutama di wilayah Banyumas, yang saat itu menjadi salah satu pusat kekuasaan penting di Jawa.
Trah Aroengbinang merupakan keturunan Pangeran Puger yang memiliki garis darah langsung dengan Kerajaan Mataram, sementara Trah Kolopaking merupakan keturunan Kyao Bodronolo yang telah berkiprah sejak zaman Majapahit dan Demak, dengan pengaruh yang kuat di kalangan bangsawan lokal. Melalui ikatan perkawinan dan kerja sama strategis, kedua trah besar ini akhirnya bersatu, menciptakan persaudaraan baru yang memperkuat kestabilan politik dan sosial di wilayah Banyumas.
Namun, kebijaksanaan Kolopaking III tidak hanya terlihat dalam urusan politik. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang memiliki pandangan jauh ke depan dalam membangun keharmonisan di tengah masyarakat yang beragam. Salah satu langkah besarnya adalah menikahi Tan Peng Nio, seorang wanita Tionghoa. Pada masa itu, hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa sering kali diwarnai ketegangan akibat kebijakan kolonial yang memecah belah masyarakat. Namun, Kolopaking III justru memilih jalan berbeda dengan mempererat hubungan antar-etnis melalui ikatan pernikahan.
Pernikahan ini menjadi simbol keterbukaan dan penerimaan di kalangan bangsawan Jawa terhadap keberagaman budaya. Ia tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga mencerminkan harmoni antara dua komunitas besar—Jawa dan Tionghoa—yang telah lama hidup berdampingan. Lebih dari itu, perkawinan ini memberikan dampak sosial yang luas, mendorong integrasi budaya yang lebih kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Pengaruhnya dapat dilihat dalam berbagai aspek, mulai dari bahasa, seni, hingga kuliner, yang menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kedua kelompok ini sejak dahulu kala.
Dengan demikian, kepemimpinan Kolopaking III menjadi salah satu contoh nyata bahwa nilai-nilai kerukunan, persatuan, dan toleransi telah tumbuh subur di tanah Jawa sejak masa lampau. Penyatuan dua trah besar menunjukkan bahwa kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan persaingan antarkelompok, sementara pernikahan lintas etnis dan keyakinan menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa kala itu sudah terbuka terhadap keberagaman.
Kisah Kolopaking III dan Tan Peng Nio bukan sekadar bagian dari sejarah keluarga bangsawan, tetapi juga warisan berharga tentang pentingnya menjaga persatuan dan toleransi di tengah keberagaman. Prinsip-prinsip ini tetap relevan hingga kini, mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya dan etnis. Apa yang telah dimulai oleh Kolopaking III di masanya menjadi pengingat bagi generasi selanjutnya bahwa persatuan adalah kekuatan, dan perbedaan bukanlah hambatan, melainkan anugerah yang harus dirawat dan dijaga bersama. (Kn.01)