Kemendikdasmen Dituding Diskriminatif, Bimtek Hanya untuk Sekolah Muhammadiyah Picu Polemik

Kemendikdasmen Dituding Diskriminatif, Bimtek Hanya untuk Sekolah Muhammadiyah

Kebumen News – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikdasmen) tengah menjadi sorotan setelah penyelenggaraan bimbingan teknis (bimtek) yang dinilai diskriminatif karena hanya melibatkan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Kebijakan ini menuai kritik keras dari kalangan pendidikan, khususnya dari Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.

Dr. Kholidul Adib, salah satu tokoh pendidikan NU, mempertanyakan klaim Kemendikdasmen yang menyebut telah menggandeng LP Ma’arif PBNU dalam kerja sama. “Jika benar ada kemitraan, mengapa tidak ada komunikasi ke daerah, sehingga ketua LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah pun tidak mengetahui. Namun jika klaim itu hanya dibuat untuk meredam protes, berarti Kemendikdasmen telah melakukan kebohongan publik,” tegasnya.

Kritik semakin tajam ketika muncul informasi bahwa setelah menuai protes, Kemendikdasmen mendadak mengundang PP HISMINU untuk implementasi program tindak lanjut bimtek. Ali Rahmat, perwakilan HISMINU, menyebut langkah itu justru menimbulkan persoalan baru. “Masalahnya bukan ditolak atau diterima, tapi undangan ini mendadak, padahal di hari yang sama kami sudah ada agenda lain,” ujarnya.

Sejumlah pihak bahkan menilai kebijakan tersebut berpotensi melanggar hukum. Menurut Dr. Kholidul Adib, ada indikasi penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskriminasi peserta bimtek dianggap bertentangan dengan asas non-diskriminasi dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Jika terbukti menimbulkan kerugian keuangan negara, kasus ini dapat naik menjadi tindak pidana korupsi.

Dugaan penyimpangan semakin mencuat setelah beredar informasi bahwa sekolah non-Muhammadiyah yang ingin ikut bimtek justru diminta membayar Rp14,6 juta. Dari jumlah itu, sekitar Rp4 juta masuk kas negara, sementara sisanya disetor ke bendahara yang ditunjuk BPMP Jateng atau Yogyakarta, dan bisa diambil kembali melalui dana BOS. Praktik semacam ini dinilai janggal dan memperkuat dugaan adanya diskriminasi dalam manajemen program.

“Kalau benar demikian, ini mengerikan. Terjadi manajemen buruk di Kemendikdasmen. Kalau publik diam, praktik pengkotak-kotakan seperti ini akan terus berulang,” ujar Kholidul Adib, seraya menyebut perlunya evaluasi serius terhadap pejabat terkait.

Sementara itu, sejumlah pengamat menilai kebijakan pembatalan sebagian agenda bimtek bisa jadi hanya strategi untuk meredam kritik publik. Muhammad Muzammil mengingatkan bahwa jika masyarakat lengah, pola serupa bisa muncul kembali.

Di tengah kontroversi ini, muncul pula suara yang menyarankan agar Kemendikdasmen bersikap lebih transparan. “Kalau memang program ini disiapkan untuk semua, jalankan saja secara adil. Setelah Muhammadiyah, lanjutkan dengan NU dan lembaga lain. Jangan malah menimbulkan kecurigaan publik,” ujar Mas Rofik dari Unsoed.

Kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya tata kelola kebijakan pendidikan jika tidak dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Publik kini menunggu apakah Kemendikdasmen akan memberikan klarifikasi yang lebih terbuka, atau justru membiarkan polemik ini semakin melebar. (Kn.01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *