Di Tengah Gempuran AI, Direktur GTK Madrasah Dorong Guru RA Fokus Kembangkan Soft Skill Anak Usia Dini

Rakorwil IGRA Jawa Tengah Digelar di Kebumen, Tantang Guru RA Berpikir Out of The Box

KEBUMEN – Tantangan pendidikan anak usia dini di era kecerdasan buatan (AI) bukan sekadar soal teknologi. Tapi juga soal keberanian guru berpikir di luar kebiasaan. Hal itu ditegaskan Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama RI, Thobib Al Asyhar, saat memberi pembinaan pada Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) dan Seminar Motivasi GTK-RA se-Jawa Tengah, Kamis, 24 April 2025, di Kebumen.

“Guru RA tidak bisa lagi bekerja dengan pola lama. Era ini menuntut inovasi dan keberanian dalam membangun karakter dan soft skill anak-anak, bukan sekadar hafalan atau tugas menulis,” tegas Thobib di hadapan ratusan guru RA dari berbagai kota/kabupaten di Jawa Tengah.

Acara yang mengusung tema “Merajut Silaturahmi, Pererat Sinergi untuk Negeri” ini juga dihadiri sejumlah pejabat penting, seperti Kepala Kantor Kemenag Kebumen Sukarno, Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Khamid, serta pejabat dari Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah.

Thobib menyebut pendidikan RA saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, teknologi AI menawarkan kemudahan, tapi di sisi lain bisa menjadi ancaman bagi nilai-nilai kemanusiaan jika tak diimbangi pendidikan karakter.

“Kita tidak sedang melawan teknologi, tapi kita tidak boleh kalah oleh teknologi. Anak-anak harus dilatih empati, kerja sama, kepemimpinan—bukan hanya diajari mengenal warna dan bentuk,” ungkapnya.

Ia bahkan menguraikan enam strategi utama untuk menghadapi revolusi pendidikan digital yang menurutnya harus segera dieksekusi melalui pelatihan daring untuk guru RA, antara lain:

  1. Pemahaman Dasar AI – Guru wajib paham fondasi kecerdasan buatan dan bagaimana mengintegrasikannya secara bijak.
  2. Etika Digital – Menjaga anak-anak tetap aman di dunia digital, serta mengajarkan tanggung jawab dalam penggunaan gawai.
  3. Penguatan Soft Skill – Komunikasi, empati, kerja tim, dan kepemimpinan jadi keterampilan wajib guru RA masa kini.

“Pasar kerja dan masyarakat kini lebih butuh manusia yang punya soft skill unggul. Bukan hanya pintar, tapi juga punya hati,” kata Thobib.

Sementara itu, Ketua PW IGRA Jawa Tengah Nurkhasanah mengapresiasi arahan Direktur GTK, namun juga tak menutup suara hati para guru. Menurutnya, dukungan moril saja tak cukup jika tidak dibarengi keberpihakan terhadap kesejahteraan dan peningkatan kompetensi guru RA.

“Kami siap mendukung penuh program Kemenag, tapi kami juga butuh pelatihan berkelanjutan dan perhatian terhadap kesejahteraan guru. Banyak guru RA masih digaji di bawah UMR,” keluhnya.

Data yang dibawa Nurkhasanah mengungkap potret pendidikan RA di Jawa Tengah:

  • 4.876 lembaga RA
  • 18.931 guru
  • 239.170 anak didik
  • 14.968 guru bergelar S1
  • Hanya 268 ASN, sisanya masih honorer, bahkan ada yang lulusan SMA

Fakta itu jadi tamparan keras: di tengah gencarnya tuntutan profesionalisme, masih banyak guru RA yang belum mendapat hak dasar sebagai pendidik.

“Kalau anak usia dini adalah investasi masa depan bangsa, maka guru RA adalah pilar utama yang tidak boleh dibiarkan berdiri sendiri,” pungkas Nurkhasanah. (Kn.01/Fz)