
KEBUMEN – Di tengah derasnya arus informasi digital yang tak terbendung, Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Kebumen mengambil langkah strategis: menyuntikkan energi baru dalam metode penyuluhan agama. Melalui pelatihan konten kreatif, 50 penyuluh agama Islam dibekali keterampilan digital dan etika bermedia yang kini jadi kebutuhan mutlak dalam berdakwah. Kegiatan ini berlangsung Rabu, 23 April 2025 di Hotel Candisari, Karanganyar.
Disampaikan langsung oleh Kepala Kankemenag Kebumen, Dr. H. Sukarno, M.M., pelatihan ini bukan sekadar agenda pelengkap kalender kerja. Ia menegaskan, zaman sudah berubah dan metode dakwah tidak bisa lagi bersandar pada pola lama.
“Situasi Kebumen ini insyaallah kondusif. Tapi kondusifitas itu harus dijaga dan dimaknai secara aktif. Salah satunya, bagaimana para penyuluh hadir di ruang-ruang digital yang kini menjadi ruang publik utama,” ujarnya dalam sambutan pembukaan.
Sukarno tak sekadar bicara teknis. Ia mendorong para penyuluh untuk merevolusi cara berpikir. Menurutnya, keberhasilan dakwah sangat tergantung pada kemampuan komunikasi dan kedekatan emosional penyuluh dengan masyarakat. Hal ini hanya bisa diraih jika pendekatannya relevan dengan budaya media saat ini.
“Penyuluh agama hari ini dituntut bukan cuma paham agama, tapi juga paham algoritma,” sindir Sukarno, menekankan pentingnya kemampuan beradaptasi dengan ekosistem digital.
Dakwah Bukan Lagi Sekadar Ceramah
Pernyataan Sukarno itu sejalan dengan materi yang disampaikan oleh dua narasumber nasional yang dihadirkan dalam pelatihan ini: Dr. H. Jamaluddin M. Marki, Lc., M.Si., Kasubdit Bina Penyuluhan Agama Islam Direktorat Penerangan Agama Islam Kemenag RI, serta Akhmad Fadjeri, S.Pd., M.Kom, akademisi dan praktisi komunikasi digital dari Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama (UMNU) Kebumen.
Dr. Jamaluddin membuka paparannya dengan satu fakta yang tak bisa dibantah: dunia digital adalah medan dakwah baru. Sayangnya, masih banyak dai atau penyuluh yang gagap terhadap budaya dan etika ruang digital.
“Setiap generasi, setiap wilayah, bahkan platform digital punya karakter etika yang berbeda. Maka penyuluh harus punya standar etika digital. Dakwah itu bukan cuma soal benar atau salah, tapi juga soal pantas atau tidak,” jelasnya.
Ia memberi peringatan keras: satu unggahan yang tidak etis bisa menjadi bumerang bagi penyuluh itu sendiri, bahkan bagi institusi yang menaunginya. Etika digital bukan hal sepele, tapi pilar reputasi.
“Jejak digital itu abadi. Satu video, satu komentar, satu unggahan bisa menjadi warisan buruk atau ladang amal. Pilihannya di tangan kita,” tegas Jamaluddin, membuat peserta terdiam sesaat.
Strategi Konten: Dari Kesan Menarik ke Pesan Menggugah
Jika Jamaluddin menyorot sisi etika dan paradigma, maka Akhmad Fadjeri membawa para peserta menyelami teknis produksi konten. Mulai dari pemilihan ide, gaya penyampaian, format video, hingga teknik storytelling yang sesuai dengan ritme konsumsi media masa kini.
“Konten yang menarik tidak harus viral. Tapi konten yang konsisten, komunikatif, dan jujur, akan membangun kepercayaan publik. Dan itu jauh lebih penting,” ujar Fadjeri.
Ia menjelaskan bahwa penyuluh seharusnya tak takut pada kamera atau mikrofon. Tantangan sebenarnya adalah membumikan pesan agama menjadi narasi yang tidak menggurui, namun menggugah. Penyuluh harus siap menjadi ‘influencer ruhani’, dengan gaya yang tetap mencerminkan keteduhan dakwah.
Beberapa teknik seperti penggunaan narasi visual, pengolahan suara, dan editing sederhana diajarkan langsung melalui sesi praktik. Bahkan, peserta diberi kesempatan membuat konten mini sebagai latihan awal membentuk kepercayaan diri tampil di layar.
“Orang sekarang lebih banyak buka TikTok daripada buka kitab. Maka jangan alergi dengan platform itu. Justru kita yang harus masuk dan isi dengan nilai-nilai kebaikan,” tantangnya.
Etika, Estetika, dan Strategi: Tiga Pilar Baru Penyuluhan Agama
Pelatihan ini tidak hanya menambah pengetahuan teknis, tetapi juga memantik diskusi kritis soal masa depan penyuluhan agama. Banyak penyuluh selama ini bekerja dalam sunyi, menjangkau desa-desa, kelompok marjinal, bahkan kalangan yang sering luput dari sentuhan dakwah.
Namun di era ini, medan kerja mereka berubah drastis. Interaksi tak lagi terbatas ruang dan waktu. Apa yang diucapkan atau diposting bisa tersebar luas dan berdampak panjang.
Kemenag Kebumen membaca perubahan itu dengan jeli. Pelatihan ini menjadi langkah awal menuju reformasi metode dakwah berbasis teknologi. Tidak untuk menggantikan tatap muka, tetapi melengkapinya. Tidak untuk menjadi selebritas digital, tetapi menjadi penjaga moral digital.
Sukarno menutup acara dengan satu kalimat yang menggambarkan semangat baru ini: “Kalau kita ingin masyarakat cerdas digital, maka penyuluhnya harus lebih dulu melek dan bijak digital.”
Dengan pelatihan ini, penyuluh agama di Kebumen tidak hanya dibekali ilmu agama, tetapi juga alat dan wawasan untuk berdakwah secara kreatif, efektif, dan etis. Sebuah langkah maju yang patut diapresiasi – karena di zaman ini, dakwah yang diam bukanlah pilihan. (Kn.02)
Bagaimana cara penyuluh agama dapat mengembangkan keterampilan digital yang relevan dengan zaman sekarang? visit us IT Telkom